Selasa, 22 November 2016

Makalah Filsafat Positivisme dan Konstruktivisme



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
          
  Dewasa ini terdapat perhatian yang makin besar terhadap filsafat ilmu. Perkembangan cepat di alami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat. Filsafat ilmu ialah penelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan sesuatu penyelidikan lanjutan.

      Sampai saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenanngan ilmu melambangkan suatu proses komulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Dan dari ilmu lah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk sejarah kehidupan manusia. Sejarahwan segera menyadari bahwa gagasan-gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam masa pendidikan hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan itu merupakan produk-produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara.

      Pembagian-pembagian nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakan setiap pengetahuan yang seringkali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak dipunkiri bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan dasar-dasar paradigmatic bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat.

      Sejalan dengan ajaran filsafat Aguste Komte yang dikenal sebagai bapak sosiologi, logico – positivisme yang juga di gagas oleh dirinya, merupakan model epistemology yang didalamnya terdapat langkah-langkah progersinya menempuh jalan-jalan melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu social. Dari sini lah kita akan membahas 2 hal penting yaitu positivisme dan konstruktivisme.








B. Rumusan Masalah
          Rumusan masalah yang hendak di perdalam dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa definisi positivism dan konstruktivisme
2. Apa perbedaan positifisme dan konstruktivisme?
3. Apa saja teori positivsme dan konstruktivisme?
           
C. Tujuan Penulisan
          Tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi positivism dan konstruktivisme
2. Mengetahui perbedaan positivism dan konstruktivisme
3. Mengetahui teori dalam positivism dan konstruktivisme


  




BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A. Konsep Positivisme
    
  1.  Arti dan Gagasan Positifisme secara Umum

Positivisme (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Positivismemerupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme , naturalisme, filsafat dan empirisme.

Savoir Pour Prevoir (mengetahui untuk diramalkan) merupakan salah satu prinsip dasar positivism sebagai hasil dari penggunaan penggunaan pengadaian penelitian ilmu-ilmu alam. Pengadaian ilmu-ilmu alam (keberjarakan, netralitas, manipulasi, hukum-hukum deduktif-nomologis, bebas kepentingan, universal, instrumental) oleh positivisme diterapkan.

Dengan merujuk pada hukum deduktif-normologi, siapapun penelitiannya, asal memenuhi tata aturannya prosedur penelitiannya, akan menghasilkan kesimpulan yang sama. Sehingga hasil penelitiannnya dapat di pakai secara instrumental oleh siapapun dan dimanapun melalui cara ini, ilmu social dapat menemukan potret tentang fakta nilai bebas nilai  (apa adanya, tidak mengandung penafsiran subjektif dan penelitiannya.)

Positivisme adalah aliran ilmu yang didasarkan atas keyakinan atau asumsi-asumsi dasar:  1. Ontology: realisme. Semesta luar digerakkan oleh hukum-hukum alam secara mekanis jika..maka..ilmu pengetahuan bertujuan untuk menemukan hukum kausalitas, 2. Epistemology: dualism. Teori menggambarkan semesta apa adanya tanpa keterlibatan nilai-nilai subjektif penelitian. 3. Metodologi: eksperimental.hipotesis dirumuskan lebih awal dalam bentuk proporsi yang lalu dii harapkan pada verifikasi atau falsifikasi dibawah situasi yang benar-benar terkontrol.

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Positivisme Logis

Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.


2. Arti dan Gagasan Konstruktivisme Secara Umum

Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.

Berbicara tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.

Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.

Untuk memahami teori Piaget , perlu kita mengetahui beberapa istilah baku yang digunakannya untuk menjelaskan proses seseorang mencapai  pengertian
a.       Skema/schemata

Pikiran kita mempunyai struktur yang disebut skema/schemata (jamak). Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasikan dengan lingkungan sekitarnya.  Skemata itu  akan beradaptasi dan berubah  selama perkembangan mental anak.

Skemata  adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas,, kemampuan dan naluri ( Wadsworth dalam Suparno 2008). Skemata merupakan  hasil suatu  konstruksi kognitif manusia yang selalu berubah selama perkembangan manusia tentang  lingkungan sekitarnya  sehingga seseorang dapat beradaptasi dan berkoordinasi dengan lingkungan sekitarnya.
b.       
 Asimilasi adalah suatu proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru kedalam skema yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi tidak mengubah schemata melainkan memperkembangkan schemata (Wadsworth dalam Suparno 2008).
Seseorang akan mengalami asimilasi dengan mengaitkan kembali suatu pengalaman baru dengan skema yang sudah ada.
c.       Akomodasi

Seseorang terkadang tidak bisa mengasimilasikan pengalaman baru kedalam skemata yang sudah ada, karena mungkin tidak cocok. Sehingga seseorang tersebut akan mengadakan akomodasi dengan cara, membentuk skema baru yang cocok maupun memodifikasi skema sehingga cocok dengan rangsangan baru.
d.      Equilibriation
Equilibriation merupakan pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Equilibriation membuat seseorang dapat menyatukan  pengalaman luar dengan  struktur dalamnya (skemata).

Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur pengetahuan awal (skemata). Setiap skema berperan sebagai suatu filter dan fasilitator  bagi ide-ide dan pengalaman baru. Skemata mengatur, mengkoordinasi, dan mengintensifkan  prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Bila pengalaman itu masih bersesuaian dengan skema yang dipunya seseorang, maka skema itu hanya dikembangkan melalui proses asimilasi.  Bila pengalaman baru itu sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema yang lama tidak cocok lagi untuk menghadapi pengalaman  yang baru, skema yang lama diubah sampai ada kesimbangan lagi. Inilah proses akomodasi.

               2.  Perbedaan Positivisme dan Konstruktivisme
Positivisme
“…..menemukan hukum sebab akibat…Model ini…ciri khas ilmu alam yang menjadikannya begitu sukses, dan asumsinya adalah bahwa jika ilmu sosial bisa meniru ilmu alam, maka ilmu sosial pun akan mencapai sukses yang serupa.” –Emile Durkheim-
            Pandangan yang paling tertua yang digunakan dalam ilmu sosial adalah positivisme dimana merupakan pendekatan dalam ilmu-ilmu alam. Melihat suatu kejadian atau gejala sosial atau fenomena yang ada sebagai suatu yang causal (hukum sebab akibat), sesuatu yang terjadi karena disebabkan oleh suatu alasan. Misalnya saja, kurangnya berolahraga dapat menyebabkan fisik menjadi lemah dan mudah terserang penyakit, penelitian mengenai kekerasan dalam televisi yang berpengaruh kepada mental anak, dan penelitian mengenai meningkatnya daya beli masyarakat dikarenakan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.   

Dalam ilmu komunikasi pandangan positivisme digunakan dalam teori kultivasi (Cultivation)  dan teori Agenda Setting.  Dalam pendekatan ini, penelitian terhadap ilmu sosial menggunakan data kuantitatif yang akurat dan menggunakan eksperien, survei, dan statistik untuk mencari ketelitian dan melihat dengan objektif. Positivisme menggunakan asumsi objectivist atau empirical realist, yaitu persepsi atas adanya suatu “realitas” yang sebenarnya ada diluar pemikiran atau pandangan manusia. 
Catatan-catatan mengenai pandangan secara positivisme, antara lain :
  • Tujuan utama positivisme yaitu, hukum sebab-akibat (causal laws).
  • Peneliti memulai dengan hubungan sebab-akibat yang secara logika diambil dari hukum sebab-akibat dalam teori umum.
  • Peneliti terpisah, netral, dan objektif dalam melakukan penelitian terhadap aspek kehidupan sosial.
  • Manusia berpikir secara rasional.
  • Penjelasan bersifat nomotetis (beraturan) dan berkembang melalui penalaran deduktif.
  • Ilmu sosial seharusnya bebas nilai dan objektif.


Konstruktivisme
            Ilmu sosial interpretif atau pandangan secara konstruktivisme menekankan pada aksi sosial yang bermakna dimana makna ini terbentuk secara sosial dan memiliki relativisme nilai. Aksi sosial yang bermakna (meaningful social action) yaitu, berbagai perspektif dengan subjek penelitian, mempelajari aksi sosial yang bermakna, bukannya suatu perilaku nyata dari beragam orang. Jadi, melalui pendekatan konstruktivisme kita melihat aksi-aksi atau kejadian atau fenomena sosial yang terjadi sebagai suatu yang bermakna dan juga memili makna bagi subjek-subjek yang melakukannya. Bagaimana cara kita mmelihat suatu fenomena sosial dengan memahaminya dan ikut merasakan atau berempati dengan subjek sosial yang melakukannya.

Aksi sosial yang bermakna, misalnya mengedepikan mata terjadi karena refleks, tapi saat tertentu mengedipkan mata yang disengaja menjadi suatu aksi sosial yang memiliki motivasi dimana dalam hal ini terdapat suaut makna yang subjektif terhadap aksi tersebut.

Interpretif-konstruktivisme berorientasi secara “konstruktionis”, yaitu orang membentuk realitas dari interaksi dan keyakinan mereka. Berbagai hal yang dilihat dan dialami seseorang dalam dunia sosial dikonstruksi secara sosial dimana bahasa dan kebiasaan berpikir mendikte hal-hal yang seseorang lihat. Jika, peneliti positivis mengukur detail kuantitatif yang terpilih mengenai ribuan orang dan menggunakan statistika, peneliti interpretif hidup selama setahun dengan selusin orang untuk mengumpulkan data kualitatif untuk memperoleh pemahaman mendalam-menggali makna.

Catatan-catatan mengenai pandangan secara konstruktivisme, antara lain :
  • Berasumsi bahwa setiap orang mendapat pengalaman dunia dalam cara yang sama. Secara interpretif mempertanyakan apakah orang mengalai realitas sosial atau fisik dalam cara yang sama. Orang melihat, mendengar, atau bahkan menyentuh benda fisik yang sama, tetapi memaknai atau menginterpretasinya secara berbeda.
  • Pendekatan interpretif dilakukan dengan dasar dalam penelitian sosial yang bersifat sensitif terhadap konteks, yang menyelami cara-cara orang melihat dunia, dan yang lebih pedulli untuk meraih pemahaman tegas dibandingkan menguji hukum seperti berbagai teori perilaku manusia.
  • Tujuan ilmu sosial menurut pandangan interpretif adalah memahami makna sosial dalam konteksnya.
  • Memandang secara konstruksionis, yaitu realitas yang ada diciptakan secara sosial.
  • Manusia adalah mahluk sosial yang berinteraksi yang menciptakan dan menguatkan makna bersama.
  • Penjelasan bersifat idiografis (representasi secara simbolis atau deskriptif) dan berkembang melalui penalaran induktif.teori ini menyatakan bahwa perempuan terposisikan pada hirarkhi yang rendah dibanding posisi laki-laki.




3. Teori dalam Positivisme dan Konstruktivisme

         a. Positivisme
          Jika fenomena yang terjadi di alam ini dilihat dari kacamata sains, maka harus diikuti fakta-fakta logis dan empiris yang menggunakan metode ilmiah, seperti eksperimen, observasi, dan komparasi.
Bahkan, cara pandang sains menilai naif pada segala gejala yang di luar nalar. Akal dianggap tidak mencari sebab dan akhir sebuah kehidupan. Begitulah teori filsafat aliran positivisme yang menolak aktifitas yang berkaitan dengan teologis dan metafisik.
Aliran ini seolah-olah menolak keberadaan kekuasaan Tuhan, maupun metafisika. Atau setidaknya, boleh dikata dalam padangan aliran ini Tuhan tak campur tangan dalam soal alam. Padahal, Auguste Comte, filsuf yang menjadi tonggak aliran ini adalah ilmuan Prancis yang sebagian hidupnya berada dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat.

Filsafat positivisme ini mulai bergulir sejak abad-19, ini berarti sesudah berkembangnya filsafat teologi dan metafisika. Kendati demikian, kehadiran filsafat positivisme tak serta-merta menghapus atau menafikan aliran-aliran filsafat terdahulu. Filsafat positisme menjadi salah satu aliran tersendiri yang menambah khasanah keilmuan dan metode berfikir.
Penelitian ilmiah dengan metode ini berkembang di berbagai negara dengan proses penerapan yang disesuaikan dengan kondisi setempat.

Sebetulnya, aliran positivisme tak bisa dikatakan temuan original Comte, sebab sebelumnya sejumlah filsuf pendahulunya juga memiliki cara pandang yang sama. Hakekat pembahasan dan pemecahannya sama saja, hanya cara penyebutannya yang berbeda.
Misalnya Immanuel Kant pada abad ke-17 dengan filsafat rasionalisme dan empirisme, aliran ini meyakini hanya perangkat inderawi manusia yang menggambarkan eksistensi segala hal.
Kemudian ada Rene Descartes. Filsuf Prancis ini memiliki pandangan mekanisnya mengenai alam semesta, sikapnya yang positif terhadap penjajakan ilmiah, tekanan yang diletakkannya pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan, pembelaannya terhadap dasar awal sikap skeptis, dan titik pusat perhatian pada epistemologi. Lalu ada Galileo Galile dari Italia, serta Sir Isaac Newton dan Sir Francis Bacon, keduanya Inggris.

Pemikiran mereka sebangun dengan Comte. Kendati demikian, Comte tetap saja menjadi pelopor aliran positivisme.
Auguste Comte (1798-1857) sering disebut “Bapak Positivisme“ karen aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.
Metode positif Auguste Comte menepatkan akal (rasio) pada tempat yang sangat penting. Dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada dimasyarakat kelompok ini berusaha mengetahui (lewat penelitian) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan azaz positivisme.

Aguste comte merupakan seorang penerus gagasan positivisme yang merupakan murid dari seorang penggagas ilmu ini Henry  Sin Simon (1760-1825). Mereka adalah pemikir prancis sekaligus sebagai pencerahan dalam revolusi filsafat negatif dan destruktif dari para filsuf pencerahan, yaitu para filsuf yang masih bergelut dengan khayalan metafisika.
           
 Gagasan dasar comte dapat dikenali dari pemikirannya mengenali tiga tahap perkembangan manusia, yaitu teologis, metafisis, dan positivis. Yang pertama, Tahap teologis, manusia memahami gejala alam berdasarkan dari campur tangan ilahi. Tahap ini di mulai dari animism yang menganggap benda-benda berjiwa dan diperlakukan suci, kemudian berkembang menjadi politeisme dan monoteisme. Poloteisme adalah tahap dimana manusia mempercayai dewa-dewa di balik setiap kejadian manusia. Monoteisme merupakan keyakinan bahwa hanya ada satu kekuatan tunggal absolut yang mempengaruhi kehidupan dan alam semesta.
         
   Kedua tahap metafisik. Pada tahap ini gejala alam dapat diyakini berjalan berdasar prinsip-prinsip ini berdasarkan pemikiran spekulatif. Tahap ini di hasilkan melalui pemikiran spekulatif
Ketiga, tahap positivis ilmiah yaitu cara memahami kehidupan dan semesta dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Alam dan kehidupan bukan lagi dipahami sebagai campur tangan yang ilahiah atau berdasarkan prinsip-prinsip spekulasi, melainkan sebagai sesuatu yang pasti, nyata dan  berguna
         

   b. Konstruktivisme


     Konstruktivisme Menurut J. Piaget
  
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).

Pada tahap pra-operasional karakteristiknya merupakan gerakan- gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap operasi konkret siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada tahap operasi konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar pada manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya. (Hudojo, 2003).

Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses dan mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo (2003: 59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.

Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).
Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada proses asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini siswa memperoleh pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan pengalaman-pengalaman matematika yang telah dimilikinya.
·         Konstruktivisme Menurut Von Glasersfeld
Von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi. Von Glasersfeld mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri.
Berkaitan dengan pembelajaran, Von Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel; 2002) menyatakan pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa.

 Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.

Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalaman siswa. Dalam hal seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui diskusi kelas.

·         Konstruktivisme Menurut Tran Vui
Suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman - pengalaman sendiri. sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.

·         Konstruktivisme Menurut Vygotsky
Bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

·         Konstruktivisme Menurut John Dewey
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini mengatakan bahawa pendidik yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembela
.


BAB 3
Kesimpulan

Positivisme secara terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya” bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Menurut Comte dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.

Kontruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.














SUMBER


12.  buku filsafat Ilmu Komunikasi-Drs. Elvinaro, M.Si dan Bambang Q-Anees, M.Si

















1 komentar:

  1. 1xbet korean | LegalBet.co.kr
    1xbet korean. Betting tips. Betting tips and predictions. Asian Handicap odds. Live 1xbet In-Play betting from all 바카라 사이트 sports worrione with odds at 1xbet.

    BalasHapus