BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini terdapat perhatian yang
makin besar terhadap filsafat ilmu. Perkembangan cepat di alami oleh banyak
ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar terhadap kehidupan masyarakat.
Filsafat ilmu ialah penelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan
cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan
sesuatu penyelidikan lanjutan.
Sampai
saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-kemenanngan
ilmu melambangkan suatu proses komulatif peningkatan pengetahuan dan rangkaian
kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Dan dari ilmu lah kemudian mengalir
arus penemuan-penemuan yang berguna untuk sejarah kehidupan manusia. Sejarahwan
segera menyadari bahwa gagasan-gagasan ilmu yang diperoleh selama dalam masa
pendidikan hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan itu merupakan
produk-produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara.
Pembagian-pembagian
nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakan setiap pengetahuan yang
seringkali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak dipunkiri bahwa
berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan
dasar-dasar paradigmatic bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala
barat.
Sejalan
dengan ajaran filsafat Aguste Komte yang dikenal sebagai bapak sosiologi,
logico – positivisme yang juga di gagas oleh dirinya, merupakan model
epistemology yang didalamnya terdapat langkah-langkah progersinya menempuh
jalan-jalan melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi mendapatkan
apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai dikembangkan dalam
penelitian ilmu-ilmu social. Dari sini lah kita akan membahas 2 hal penting
yaitu positivisme dan konstruktivisme.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang hendak di
perdalam dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa definisi positivism dan
konstruktivisme
2. Apa perbedaan positifisme dan
konstruktivisme?
3. Apa saja teori positivsme dan konstruktivisme?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui definisi positivism dan
konstruktivisme
2. Mengetahui perbedaan positivism dan
konstruktivisme
3. Mengetahui teori dalam positivism dan
konstruktivisme
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Konsep Positivisme
1.
Arti dan Gagasan Positifisme secara Umum
Positivisme
(disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga
neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat
bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus
dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan
adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.
Positivisme
adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisika. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris. Positivismemerupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai
kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat
menjadi pengetahuan.
Secara
umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai
sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka
meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang
berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung
teori-teori paham realisme, materialisme , naturalisme, filsafat dan empirisme.
Savoir
Pour Prevoir (mengetahui untuk diramalkan) merupakan salah satu prinsip dasar
positivism sebagai hasil dari penggunaan penggunaan pengadaian penelitian
ilmu-ilmu alam. Pengadaian ilmu-ilmu alam (keberjarakan, netralitas,
manipulasi, hukum-hukum deduktif-nomologis, bebas kepentingan, universal,
instrumental) oleh positivisme diterapkan.
Dengan
merujuk pada hukum deduktif-normologi, siapapun penelitiannya, asal memenuhi
tata aturannya prosedur penelitiannya, akan menghasilkan kesimpulan yang sama.
Sehingga hasil penelitiannnya dapat di pakai secara instrumental oleh siapapun
dan dimanapun melalui cara ini, ilmu social dapat menemukan potret tentang
fakta nilai bebas nilai (apa adanya,
tidak mengandung penafsiran subjektif dan penelitiannya.)
Positivisme
adalah aliran ilmu yang didasarkan atas keyakinan atau asumsi-asumsi
dasar: 1. Ontology: realisme. Semesta
luar digerakkan oleh hukum-hukum alam secara mekanis jika..maka..ilmu
pengetahuan bertujuan untuk menemukan hukum kausalitas, 2. Epistemology:
dualism. Teori menggambarkan semesta apa adanya tanpa keterlibatan nilai-nilai
subjektif penelitian. 3. Metodologi: eksperimental.hipotesis dirumuskan lebih
awal dalam bentuk proporsi yang lalu dii harapkan pada verifikasi atau
falsifikasi dibawah situasi yang benar-benar terkontrol.
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi
tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja
merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan
positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada
Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang
diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya
Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme –
empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach
dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek
nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme,
masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim,
yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan
lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan
lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga
ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan
sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika.
Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika
simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan
dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme
Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran
Wina. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi
pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada
analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini
mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan
dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan
pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme
logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam
suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan
perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika
dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah
berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan
kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik
menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan
informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak
mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam
bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
2. Arti dan Gagasan Konstruktivisme
Secara Umum
Konstruktivisme
adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar
bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi
harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu
yang sudah jadi melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dan dalam
proses itulah keaktivan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan
sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
Berbicara
tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah
psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses
belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual
Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan
Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu
beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan
memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan
dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai
seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi
pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih
rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan
pengalaman, baik pengalaman fisis maupun pengalaman mental.
Berkenaan
dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul
Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam
tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean
Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh
Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1970, Vico dalam De
Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata,
“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia
menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’
Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain
halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus
menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan
teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan
hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan
konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat
tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Untuk
memahami teori Piaget , perlu kita mengetahui beberapa istilah baku yang
digunakannya untuk menjelaskan proses seseorang mencapai pengertian
a.
Skema/schemata
Pikiran
kita mempunyai struktur yang disebut skema/schemata (jamak). Skema adalah suatu
struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual
beradaptasi dan mengkoordinasikan dengan lingkungan sekitarnya. Skemata itu
akan beradaptasi dan berubah
selama perkembangan mental anak.
Skemata adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental,
konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas,, kemampuan dan naluri (
Wadsworth dalam Suparno 2008). Skemata merupakan hasil suatu
konstruksi kognitif manusia yang selalu berubah selama perkembangan
manusia tentang lingkungan
sekitarnya sehingga seseorang dapat
beradaptasi dan berkoordinasi dengan lingkungan sekitarnya.
b.
Asimilasi
adalah suatu proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru kedalam skema yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi tidak mengubah schemata melainkan memperkembangkan
schemata (Wadsworth dalam Suparno 2008).
Seseorang akan mengalami asimilasi dengan mengaitkan kembali suatu pengalaman
baru dengan skema yang sudah ada.
c.
Akomodasi
Seseorang
terkadang tidak bisa mengasimilasikan pengalaman baru kedalam skemata yang
sudah ada, karena mungkin tidak cocok. Sehingga seseorang tersebut akan
mengadakan akomodasi dengan cara, membentuk skema baru yang cocok maupun
memodifikasi skema sehingga cocok dengan rangsangan baru.
d. Equilibriation
Equilibriation
merupakan pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses
asimilasi dan akomodasi. Equilibriation membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skemata).
Menurut Piaget, dalam pikiran seseorang ada struktur
pengetahuan awal (skemata). Setiap skema berperan sebagai suatu filter dan
fasilitator bagi ide-ide dan pengalaman
baru. Skemata mengatur, mengkoordinasi, dan mengintensifkan prinsip-prinsip dasar. Melalui kontak dengan
pengalaman baru, skema dapat dikembangkan dan diubah, yaitu dengan proses
asimilasi dan akomodasi. Bila pengalaman itu masih bersesuaian dengan skema
yang dipunya seseorang, maka skema itu hanya dikembangkan melalui proses
asimilasi. Bila pengalaman baru itu
sungguh berbeda dengan skema yang ada, sehingga skema yang lama tidak cocok
lagi untuk menghadapi pengalaman yang
baru, skema yang lama diubah sampai ada kesimbangan lagi. Inilah proses
akomodasi.
2. Perbedaan Positivisme dan Konstruktivisme
Positivisme
“…..menemukan
hukum sebab akibat…Model ini…ciri khas ilmu alam yang menjadikannya begitu
sukses, dan asumsinya adalah bahwa jika ilmu sosial bisa meniru ilmu alam, maka
ilmu sosial pun akan mencapai sukses yang serupa.” –Emile Durkheim-
Pandangan
yang paling tertua yang digunakan dalam ilmu sosial adalah positivisme dimana
merupakan pendekatan dalam ilmu-ilmu alam. Melihat suatu kejadian atau gejala
sosial atau fenomena yang ada sebagai suatu yang causal (hukum sebab akibat),
sesuatu yang terjadi karena disebabkan oleh suatu alasan. Misalnya saja,
kurangnya berolahraga dapat menyebabkan fisik menjadi lemah dan mudah terserang
penyakit, penelitian mengenai kekerasan dalam televisi yang berpengaruh
kepada mental anak, dan penelitian mengenai meningkatnya daya beli masyarakat
dikarenakan meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Dalam ilmu komunikasi pandangan
positivisme digunakan dalam teori kultivasi (Cultivation) dan
teori Agenda Setting. Dalam pendekatan ini, penelitian terhadap
ilmu sosial menggunakan data kuantitatif yang akurat dan menggunakan eksperien,
survei, dan statistik untuk mencari ketelitian dan melihat dengan objektif.
Positivisme menggunakan asumsi objectivist atau empirical realist,
yaitu persepsi atas adanya suatu “realitas” yang sebenarnya ada diluar
pemikiran atau pandangan manusia.
Catatan-catatan mengenai pandangan
secara positivisme, antara lain :
- Tujuan utama positivisme yaitu, hukum sebab-akibat (causal
laws).
- Peneliti memulai dengan hubungan sebab-akibat yang
secara logika diambil dari hukum sebab-akibat dalam teori umum.
- Peneliti terpisah, netral, dan objektif dalam melakukan
penelitian terhadap aspek kehidupan sosial.
- Manusia berpikir secara rasional.
- Penjelasan bersifat nomotetis (beraturan) dan
berkembang melalui penalaran deduktif.
- Ilmu sosial seharusnya bebas nilai dan objektif.
Konstruktivisme
Ilmu
sosial interpretif atau pandangan secara konstruktivisme menekankan pada aksi
sosial yang bermakna dimana makna ini terbentuk secara sosial dan memiliki
relativisme nilai. Aksi sosial yang bermakna (meaningful social action)
yaitu, berbagai perspektif dengan subjek penelitian, mempelajari aksi sosial
yang bermakna, bukannya suatu perilaku nyata dari beragam orang. Jadi, melalui
pendekatan konstruktivisme kita melihat aksi-aksi atau kejadian atau fenomena
sosial yang terjadi sebagai suatu yang bermakna dan juga memili makna bagi
subjek-subjek yang melakukannya. Bagaimana cara kita mmelihat suatu fenomena
sosial dengan memahaminya dan ikut merasakan atau berempati dengan subjek
sosial yang melakukannya.
Aksi sosial yang bermakna, misalnya
mengedepikan mata terjadi karena refleks, tapi saat tertentu mengedipkan mata
yang disengaja menjadi suatu aksi sosial yang memiliki motivasi dimana dalam
hal ini terdapat suaut makna yang subjektif terhadap aksi tersebut.
Interpretif-konstruktivisme
berorientasi secara “konstruktionis”, yaitu orang membentuk realitas dari
interaksi dan keyakinan mereka. Berbagai hal yang dilihat dan dialami seseorang
dalam dunia sosial dikonstruksi secara sosial dimana bahasa dan kebiasaan
berpikir mendikte hal-hal yang seseorang lihat. Jika, peneliti positivis
mengukur detail kuantitatif yang terpilih mengenai ribuan orang dan menggunakan
statistika, peneliti interpretif hidup selama setahun dengan selusin orang
untuk mengumpulkan data kualitatif untuk memperoleh pemahaman mendalam-menggali
makna.
Catatan-catatan mengenai pandangan
secara konstruktivisme, antara lain :
- Berasumsi bahwa setiap orang mendapat pengalaman dunia
dalam cara yang sama. Secara interpretif mempertanyakan apakah orang
mengalai realitas sosial atau fisik dalam cara yang sama. Orang melihat,
mendengar, atau bahkan menyentuh benda fisik yang sama, tetapi memaknai
atau menginterpretasinya secara berbeda.
- Pendekatan interpretif dilakukan dengan dasar dalam
penelitian sosial yang bersifat sensitif terhadap konteks, yang menyelami
cara-cara orang melihat dunia, dan yang lebih pedulli untuk meraih
pemahaman tegas dibandingkan menguji hukum seperti berbagai teori perilaku
manusia.
- Tujuan ilmu sosial menurut pandangan interpretif adalah
memahami makna sosial dalam konteksnya.
- Memandang secara konstruksionis, yaitu realitas yang
ada diciptakan secara sosial.
- Manusia adalah mahluk sosial yang berinteraksi yang
menciptakan dan menguatkan makna bersama.
- Penjelasan bersifat idiografis (representasi secara
simbolis atau deskriptif) dan berkembang melalui penalaran induktif.teori
ini menyatakan bahwa perempuan terposisikan pada hirarkhi yang rendah
dibanding posisi laki-laki.
3.
Teori dalam Positivisme dan Konstruktivisme
a. Positivisme
Jika fenomena yang terjadi
di alam ini dilihat dari kacamata sains, maka harus diikuti fakta-fakta logis
dan empiris yang menggunakan metode ilmiah, seperti eksperimen, observasi, dan
komparasi.
Bahkan, cara pandang sains menilai naif pada segala gejala
yang di luar nalar. Akal dianggap tidak mencari sebab dan akhir sebuah
kehidupan. Begitulah teori filsafat aliran positivisme yang menolak aktifitas
yang berkaitan dengan teologis dan metafisik.
Aliran ini seolah-olah menolak keberadaan kekuasaan Tuhan,
maupun metafisika. Atau setidaknya, boleh dikata dalam padangan aliran ini
Tuhan tak campur tangan dalam soal alam. Padahal, Auguste Comte, filsuf yang
menjadi tonggak aliran ini adalah ilmuan Prancis yang sebagian hidupnya berada
dalam lingkungan keluarga Katolik yang taat.
Filsafat positivisme ini mulai bergulir sejak abad-19, ini
berarti sesudah berkembangnya filsafat teologi dan metafisika. Kendati
demikian, kehadiran filsafat positivisme tak serta-merta menghapus atau
menafikan aliran-aliran filsafat terdahulu. Filsafat positisme menjadi salah
satu aliran tersendiri yang menambah khasanah keilmuan dan metode berfikir.
Penelitian ilmiah dengan metode ini berkembang di berbagai
negara dengan proses penerapan yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Sebetulnya, aliran positivisme tak bisa dikatakan temuan
original Comte, sebab sebelumnya sejumlah filsuf pendahulunya juga memiliki
cara pandang yang sama. Hakekat pembahasan dan pemecahannya sama saja,
hanya cara penyebutannya yang berbeda.
Misalnya Immanuel Kant pada abad ke-17 dengan filsafat
rasionalisme dan empirisme, aliran ini meyakini hanya perangkat inderawi
manusia yang menggambarkan eksistensi segala hal.
Kemudian ada Rene Descartes. Filsuf
Prancis ini memiliki pandangan mekanisnya mengenai alam semesta,
sikapnya yang positif terhadap penjajakan ilmiah, tekanan yang diletakkannya
pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan, pembelaannya terhadap dasar
awal sikap skeptis, dan titik pusat perhatian pada epistemologi. Lalu ada
Galileo Galile dari Italia, serta Sir Isaac Newton dan Sir Francis Bacon,
keduanya Inggris.
Pemikiran mereka sebangun dengan Comte. Kendati
demikian, Comte tetap saja menjadi pelopor aliran positivisme.
Auguste Comte (1798-1857) sering disebut “Bapak
Positivisme“ karen aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme
adalah nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi menurut
dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai
kemajuan.
Metode positif Auguste Comte menepatkan akal (rasio) pada
tempat yang sangat penting. Dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada
dimasyarakat kelompok ini berusaha mengetahui (lewat penelitian) penyebab
terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan
azaz positivisme.
Aguste comte merupakan seorang penerus gagasan positivisme
yang merupakan murid dari seorang penggagas ilmu ini Henry Sin Simon (1760-1825). Mereka adalah pemikir
prancis sekaligus sebagai pencerahan dalam revolusi filsafat negatif dan
destruktif dari para filsuf pencerahan, yaitu para filsuf yang masih bergelut
dengan khayalan metafisika.
Gagasan
dasar comte dapat dikenali dari pemikirannya mengenali tiga tahap perkembangan
manusia, yaitu teologis, metafisis, dan positivis. Yang pertama, Tahap
teologis, manusia memahami gejala alam berdasarkan dari campur tangan ilahi.
Tahap ini di mulai dari animism yang menganggap benda-benda berjiwa dan
diperlakukan suci, kemudian berkembang menjadi politeisme dan monoteisme.
Poloteisme adalah tahap dimana manusia mempercayai dewa-dewa di balik setiap
kejadian manusia. Monoteisme merupakan keyakinan bahwa hanya ada satu kekuatan
tunggal absolut yang mempengaruhi kehidupan dan alam semesta.
Kedua
tahap metafisik. Pada tahap ini gejala alam dapat diyakini berjalan berdasar
prinsip-prinsip ini berdasarkan pemikiran spekulatif. Tahap ini di hasilkan
melalui pemikiran spekulatif
Ketiga, tahap positivis ilmiah yaitu cara memahami
kehidupan dan semesta dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Alam dan kehidupan
bukan lagi dipahami sebagai campur tangan yang ilahiah atau berdasarkan
prinsip-prinsip spekulasi, melainkan sebagai sesuatu yang pasti, nyata dan berguna
b.
Konstruktivisme
Konstruktivisme
Menurut J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget
menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa
mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu
sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi
konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12
tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan
perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan
lingkungan (Slavin, 2000).
Pada tahap pra-operasional
karakteristiknya merupakan gerakan- gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap
operasi konkret siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang
logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada
tahap operasi konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis
berdasar pada manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal
siswa dapat memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide
daripada obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara
berpikirnya. (Hudojo, 2003).
Piaget meyakini bahwa kecenderungan
siswa berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses
dan mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo
(2003: 59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang
kembali. Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku
dan pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan
Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan pemikiran yang dapat berulang
kembali. Dengan demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh
siswa untuk menyesuaikan dengan lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan
terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur
mental siswa.
Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian
skema yang sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut
Piaget adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan
melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap pengalaman
baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses
menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau
bahkan membentuk skema yang benar-benar baru (Hudojo, 2003: 60).
Perkembangan struktur mental siswa
bergantung pada proses asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam
struktur mental siswa terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap
pengalaman-pengalaman baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini
siswa memperoleh pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan
pengalaman-pengalaman matematika yang telah dimilikinya.
·
Konstruktivisme
Menurut Von Glasersfeld
Von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan
dan realitas tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara
aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi. Von Glasersfeld
mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan
sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan
(model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan
cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri.
Berkaitan dengan pembelajaran, Von
Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel; 2002) menyatakan
pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus
dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi
sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di
kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut
kepada siswa.
Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa
pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang
masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar
pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan
terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.
Apa yang disampaikan guru belum tentu
diterima siswa sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan
mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga
siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan
berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu
mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang
diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan
oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya
pengalaman siswa. Dalam hal seperti ini, guru perlu membuat
kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui diskusi kelas.
·
Konstruktivisme
Menurut Tran Vui
Suatu filsafat belajar yang dibangun
atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman - pengalaman sendiri.
sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan
terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan
untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi
orang lain.
· Konstruktivisme Menurut Vygotsky
Bahwa belajar
bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik.
Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks
sosial budaya seseorang.
Dalam
penjelasan lain
mengatakan
bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan
ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
· Konstruktivisme
Menurut John Dewey
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini mengatakan bahawa
pendidik yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai
proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga
menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembela
.
BAB 3
Kesimpulan
Positivisme secara
terminologis berarti merupakan suatu paham yang dalam “pencapaian kebenarannya”
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal
diluar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme. Menurut Comte dan juga para penganut
aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta
karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat
benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh
karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan
hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Kontruktivisme merupakan
aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan
hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3).
Konstruktivisme sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu
pengetahuan, teori belajar dan pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan
paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai landasan paradigma
pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa
dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa belajar mandiri, dan
perlunya siswa memiliki kemampun untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
SUMBER
12. buku filsafat Ilmu Komunikasi-Drs. Elvinaro, M.Si dan
Bambang Q-Anees, M.Si